Sabtu, 19 Agustus 2017

Untuk Melengkapi Separuh Agama, Aku Memilihmu

Sebuah ikatan rumah tangga, diawali dengan sebuah lamaran (Khitbah), dilanjutkan dengan pengucapan ikrar, akad dalam pernikahan.

"Saya terima nikahnya fulanah binti fulan dengan mas kawin ....."

Nikah, tua banget rasanya kalau ngebahas terkait nikah. Akad aja belum tapi udah berani-beraninya bicara perihal nikah. Pengalaman aja belum ada, tapi udah mau membicarakan suatu pernikahan. Lika-liku rumah tangga setelah nikah aja belum tau, tapi mau menilai rumah tangga itu seperti apa. Dasah. Hahaha.

Sebenarnya tujuan nikah yang sudah pasti itu untuk melengkapi separuh agama, menghindari suatu hubungan yang belum waktunya (maksiat), dan untuk menjauhi perkara yang dilarang agama, iya, Zina.

Sebenarnya nikah itu bukan perkara yang mudah dan juga bukan perkara yang sulit. Banyak yang menilai nikah itu mudah. Betul memang, karena yang diperlukan dalam pernikahan hanya pasangan, wali, saksi, sama mahar, selebihnya? itu hanya pelengkap saja, atau bahkan tradisi yang ditambahkan di zaman yang sudah modern ini. Ibarat kata, nikah tanpa dirayakan (resepsi) itu sama aja makan nasi sama ayam, tapi ayamnya belum dimasak atau diolah. Memang sih bukan sebuah kesalahan dalam hal agama. Agamapun tidak melarang, asal itu tidak menyimpang dari pandangan agama, sesuai dengan syariat Islam, dan tidak melebih-lebihkan. Melebih-lebihkan saja dilarang dalam agama.

Nikah juga bukan perkara yang mudah. Ada yang berfikir yang penting nikah aja dulu, kedepannya mah biar alur saja yang menjalankannya.

Kalimat seperti itu memang tidak disalahkan, karena menikah juga bertujuan untuk mendewasakan diri, menjadi pribadi yang selalu ingin berubah kedalam hal yang baik, menjadi pribadi yang taat agama serta aturannya, menjadi pribadi yang sanggup memimpin dan memberikan keputusan, dan menjadikan kita sebagai pribadi yang selalu bersyukur dalam segala hal kehidupan.

Tapi,

Menikahpun butuh bekalan-belakan ilmu, bagaimana cara menyenangkan suami, bagaimana cara menyenangkan istri, bagaimana cara menahan sebuah perkata emosi yang ditimbulkan dari pasangan, bagaimana cara menahan sabar dengan sikap dan perilaku pasangan kita yang tidak kita sukai.
Itu penting, tapi yang lebih penting adalah, kita harus sama-sama mau belajar, mau berubah kearah yang lebih baik, mau menjadi yang terbaik untuk pasangan masing-masing, mau mengajarkan kebaikan kepada pasangan kita, mau memahami keadaan dan tidak memaksakan sebuah kehendak kehidupan.

Setengah tahapan untuk melengkapi separuh agama memang sudah saya jalani, tapi ada beberapa perihal kebutuhan untuk nanti sudah dikerjakan sebagiannya, tapi, tidak tahu kenapa, sikap pasangan yang saya pilih, selalu mementingkan ego, mementingkan keinginan, tidak tahu keadaan, tidak mau mendengarkan saran dan masukan saya.
Lantas, gimana peran saya nantinya?

9 Juli 2017
10:35